Senin, 03 Februari 2014

Simple Story



Ketulusan Seorang Sahabat
 
     “Nay, sini dech cepetan, aku ada sesuatu buat kamu”,  panggil Chaca suatu sore.
“Iya, sebentar, sabar dikit kenapa sich? kamu kan tau aku gak bisa melihat”, jawab seorang gadis cantik dari balik pintu.

     Nayla Wulandari, begitulah nama gadis tadi, meskipun lahir dengan keterbatasan fisik, dia tidak pernah mengeluh, semangatnya menjalani bahtera hidup tak pernah padam. Lahir dengan kondisi buta, tidak membuatnya berkecil hati, secara fisik matanya tidak bisa melihat warna-warni dunia, tapi mata hatinya bisa melihat jauh ke dalam kehidupan seseorang. Mempunyai hoby melukis sejak kecil, dengan keterbatasannya, Nay selalu mengasah bakatnya. Tak pernah sedikitpun dia menyerah.

     Duduk di bangku kelas 10 di sebuah Sekolah Luar Biasa, Nayla tidak pernah absen meraih peringkat dikelas, bahkan guru-gurunya termotivasi dengan sifat pantang menyerah Nay. Sejak baru berusia 3 tahun, Nayla sudah bersahabat dengan anak tetangganya yang bernama Chaca Amrita. Chaca anak seorang direktur bank ternama. Chaca cantik, pintar dan secara fisik Chaca kelihatan sempurna.

***
     Seperti sore ini, Chaca sudah nangkring di rumah Nay. Dia berbincang-bincang dengan Nay, sambil menemani sahabatnya itu melukis.  “Nay, lukisan kamu bagus banget, nanti kamu ngadain pameran tunggal ya, biar semua orang tau bakat kamu”, kata Chaca membuka pembicaraan.  “Huft”, Nay mendesah pelan lalu mulai bicara, “Seandainya aku bisa Cha, pasti sudah aku lakukan, tapi apa daya, aku ini gak sempurna! seandainya aku mendapat donor kornea, dan aku bisa melihat, mungkin aku bahagia dan akan mengadakan pameran lukisan-lukisanku ini” ucap Nayla dengan kepedihan. “Suatu hari nanti Tuhan akan memberikan anugrahnya kepadamu, Nay kamu percaya dech  pasti akan ada yang mendonorkan korneanya untuk seorang anak sebaik kamu,” timpal Chaca akhirnya.

     Berbeda secara fisik, tidak pernah menjadi halangan di dalam jalinan persahabatan antara Chaca dan Nayla, kemana pun Chaca pergi, dia selalu mengajak Nay, kecuali sekolah tentunya, karena sekolah mereka berdua berbeda.

     Suatu hari sedang asik-asiknya dua sahabat ini bersenda gurau, tiba-tiba saja Chaca mengeluh, “aduuh, kepala ku sakit”  “Kamu kenapa Cha, sakit”? tanya Nayla. “Oh, ngga aku ngga apa-apa Nay, cuma sedikit pusing saja”, ucap Chaca sambil tersenyum. “ Minum obat ya Cha, aku gak mau kamu kenapa-napa”, nada bicara Nay terdengar begitu khawatir. “Iya kalau gitu aku pulang dulu yah Nay, mau minum obat” ujar Chaca sambil berpamitan pulang.

     Di kamarnya yang terkesan sangat mewah, nuansa pink mendominasi di setiap sudut ruangan, Chaca terduduk lemas di atas ranjangnya. “Ya Tuhan, berapa lama lagi usiaku di dunia ini?? Berapa lama lagi malaikatmu akan menjemputku untuk menghadapmu”? erang hati Chaca.
     Di vonis menderita leukimia sejak 7 bulan lalu dan tidak akan berumur lama lagi sungguh menyakitkan bagi Chaca, usianya yang baru 17 tahun, dengan segudang cita-cita yang dia inginkan, sudah pasti tak satupun akan terwujud.
                                                              ***
     Pintu kamar Chaca tiba-tiba terbuka, seorang wanita cantik paruh baya masuk lalu duduk disampingnya. “Gimana rasanya sayang? Masih gak enak?? Kita ke dokter sekarang yuk” ujar wanita itu dengan lembutnya. “Ngga usah Mah, aku sudah enakan kok, aku cuma mau beristirahat saja”, jawab Chaca dengan sopan. “Ya sudah kalau begitu, Mama tinggal dulu ya, istirahat ya, Nak”, ujar sang Mama sambil mencium kening putri semata wayangnya. “Makasih Mah, aku selalu sayang Mama”, lirih Chaca berujar. Terus terang Chaca sudah tidak kuat menahan rasa sakitnya, tapi dia berusaha menyembunyikan itu dari orang tuanya.

     Di ruang keluarga, Ibu Rita (Mamanya Chaca), duduk sambil menemani sang suami sepulangnya dari kantor.”Mah, Chaca kemana?? Kok Papa gak melihatnya dari tadi”? tanya sang suami. “Chaca lagi istirahat Pa, dia pusing dan mengeluh sakit dari tadi”, jawab Rita. “Sakit apa sebenarnya anak kita ma?? Kalau kita ajak ke dokter dia selalu menolak, Papa rasa ada yang dia sembunyikan dari kita, aku takut penyakitnya parah”, dengan nada khawatir pak Artawan bicara dengan istrinya. “Entahlah Pa, Mama juga bingung” ujar istrinya lagi.
                                                              ***
    
     Ternyata sakit yang dirasakan Chaca sore itu adalah pertanda dia akan segera di panggil menghadap Tuhan, saat minta ijin untuk istirahat pada Mamanya, kesehatan Chaca benar-benar drop, dengan panik kedua orang tua Chaca melarikan putrinya ke rumah sakit, setelah mendapat penanganan oleh tim dokter, Chaca sedikit terlihat tenang, namun mukanya terlihat pucat, sinar matanya terlihat begitu redup. “Pak Artawan, bisa kita bicara sebentar di ruangan saya”, kata dokter Gunawan, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga Artawan. “Baiklah dok”, sambut pa Artawan.

     Setelah pak Artawan dan ibu Rita duduk di ruangan dokter Gunawan, mereka akhirnya mulai bicara. “Maafkan saya sebelumnya pak, sebenarnya saya sudah tau penyakit yang diderita putri bapak sejak 7 bulan lalu, tapi karena putri bapak menyuruh saya merahasiakan penyakitnya kepada bapak dan ibu, saya gak bisa berbuat apa-apa. Putri bapak terkena leukimia,” ujar dokter Gunawan lirih.

     Cukup lirih memang kata-kata dokter Gunawan, tapi mampu membuat jantung pak Artawan dan istrinya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Apa?? Leukemia? Separah apa dok”?? keras nada suara pak Artawan. “Sudah parah pak, umur Chaca mungkin tidak lama lagi” sambung dokter kembali. Setelah berbicara lama dengan dokter, air mata tak pernah berhenti mengalir di pipi Rita. Dia begitu terpukul mendengar putrinya menderita penyakit itu.
     “Udah Mah, jangan nangis terus.  Pengobatan Chaca akan diusahakan, kita akan mengusahakan kesembuhannya, lebih baik kita berdoa, semoga Tuhan memberikan jalan terbaik buat keluarga kita”, hibur pak Artawan. “Mari kita tengok Chaca” ajaknya lagi.

     Memasuki ruangan perawatan, ibu Rita berusaha menyembunyikan air matanya, dia tersenyum penuh kepedihan di samping ranjang putrinya. “Mama, kenapa? Kok sedih begitu”? ujar Chaca lirih. “Gak apa-apa sayang", berbisik ibu Rita tak kuasa menahan air matanya. “Maafkan Chaca Mah, Pa, Chaca tak bermaksud membuat Mama dan Papa terluka seperti ini, Chaca hanya tak ingin menyusahkan kalian”, Chaca berkata dengan terbata-bata.

    
     Belum ada beberapa menit pak Artawan dan ibu Rita di kamar putrinya, tiba-tiba Chaca kejang-kejang. Dengan panik pak Artawan memanggil dokter Gunawan. Dokter Gunawan menangani Chaca lumayan lama, hingga akhirnya dokter Gunawan keluar, muka beliau kelihatan sangat sedih. “Bagaimana anak saya, dok”? tanya pak Artawan. “Maaf pak, kami disini sudah berusaha yang terbaik, tapi Tuhan berkehendak lain, Chaca sudah dipanggil menghadap-Nya” ucap dokter.

     “Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaakkk”, teriak ibu Rita histeris,“ Chaca tidak mungkin meninggal, Chaca masih hidup”!!! Seluruh pengunjung rumah sakit menoleh ke arah mereka.“Pak, sebelum meninggal, Chaca menitipkan ini ke saya, ini buat bapak dan ibu” imbuh dokter Gunawan sebelum mohon diri.

     Sepeninggal Dokter Gunawan, pak Artawan dan istrinya membuka amplop kecil dari Chaca, isinya ternyata surat. 









     Selain sepucuk surat itu, ada lagi sebuah surat pernyataan pendonoran kornea mata yang telah lengkap dengan tanda tangan Chaca. Hati orang tua Chaca tersayat, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan selain memenuhi permintaan terakhir sang anak.
***
     Sementara itu, di rumah Nayla, tampak gadis cantik itu tengah duduk seorang diri di teras rumahnya. Wajahnya tampak sedikit murung, “kemana si Chaca, sudah lebih dari 5 hari dia gak main ke sini, apa dia baik-baik saja”? gumamnya. “Mah, Chaca pernah kesini gak dalam beberapa hari ini”? tanya Nayla ke pada mamanya. “Gak ada, Nay, memang kenapa”? tanya sang Mama. “Gak apa-apa Mah, aku ke rumah Chaca sebentar ya”! Nay meminta ijin ke mamanya.

     Tapi diluar dugaan, Mama melarangnya pergi. “Jangan Nay, kita harus ke rumah sakit sekarang juga, tadi Mama ditelepon sama pihak rumah sakit, katanya ada yang menyumbangkan korneanya khusus untuk kamu”, dengan tutur kata yang lembut mamanya menjelaskan. “Yang bener, Ma? Nay sudah dapat donor kornea?? Asik-asik, Nay akan segera bisa melihat wajah Chaca, Nay bisa segera menggelar pameran lukisan,” ucap Nay berapi-api.“Iya nak” jawab mamanya penuh kepedihan. “Seandainya kamu tahu sayang, Chaca tak mungkin ada disamping kamu lagi, Chaca sudah tenang dialam sana, dan seandainya kamu tahu siapa orang yang mendonorkan korneanya untuk kamu” kata sang Mama dalam hati.

     Waktu berjalan begitu cepat, operasi cangkok kornea sudah dilaksanakan dan sekarang adalah hari yang paling ditunggu-tunggu Nayla, perban di matanya akan di buka, tim dokter beserta kedua orang tua Nayla sudah ada di ruangan. Sebelum perbannya di buka, Nayla berujar, “Ma, Pa, Chaca sudah datang?? Ku ingin sekali ada Chaca di sini pas aku bisa melihat”
“belum sayang, Chaca masih diluar kota” pedih rasanya hati sang Mama karena harus berbohong.

     Perban akhirnya di buka, samar-samar penglihatan Nayla mulai melihat warna, melihat sosok kedua orang tuanya, dia tersenyum, semakin lama semakin jelas,
“Mama, papa aku bisa melihat kalian,” gembira sekali suara Nayla.
***
     

     Sudah 1 minggu semenjak Nayla bisa melihat, tapi Chaca tak kunjung datang menemuinya. “Ma, Chaca kok ngga pernah ke sini padahal Mama bilang kemarin dia sudah pulang dari luar kota. Mah Nay mau ke rumah Chaca yah, hari ini kan Chaca ulang tahun. Nay pingin ngajak Chaca jalan-jalan buat merayakan kesembuhan Nay dan ulang tahunnya Chaca”. “Ya sudah mama sama papa temenin kamu ya!!”

     Berbeda beberapa rumah antara Chaca dan Nayla merupakan hal yang membahagiakan, tidak perlu capek-capek bermacet-macet ria di jalanan untuk mengunjunginya. Sesampai di rumah Chaca mereka disambut ramah oleh keluarga Chaca yang kebetulan lagi ada di rumah.
     “Selamat sore tante Rita’” sapa Nayla dengan senyum sumringah.
Setelah di persilahkan duduk dan menikmati hidangan ala kadarnya, Nayla menanyakan keberadaan sahabat karibnya,
“Mana Chaca tante?? Kok gak kelihatan ada di rumah”?
“Cha…cca…” dengan terbata-bata ibu Rita menjawab.
“Iya Chaca kenapa tante, kemana?? Chaca tidak apa-apa kan”? bertubi-tubi Nayla bertanya.

     Ibu Rita tak kuasa menjawab, beliau meninggalkan tamunya di ruang tamu dan berlari naik ke kamar Chaca, mengambil sepucuk surat yang dititipkan Chaca untuk Nayla. Ibu Rita kembali ke ruang tamu dengan sepucuk surat di tangan,
“Ini dari Chaca untuk kamu” ujarnya berlinang air mata kepada Nayla.

     Dengan tangan gemetar Nayla membuka amplop berwarna kuning yang cantik itu, ada pita pink juga di sudut amplonya.
 



Air mata mengalir deras di pipi Nayla.
“Ini tidak mungkiiiiiin…. kamu memang janji akan mendapatkan donor kornea untukku Cha, tapi aku nggak mau kalau itu kamu… kamu bilang saat kamu ulang tahun kita akan merayakannya bersama-sama, tapi mana janji kamu Cha..???”               
Sekarang hari ulang tahun kamu, harusnya kita sudah bersenang-senang” teriak Nayla tak percaya. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar tak percaya, sahabatnya sudah kembali ke pangkuan Tuhan, Nayla menatap selembar foto yang juga ada di dalam amplop surat tadi, foto Chaca tersenyum manis ke arahnya, mata Chaca yang teduh, sekarang ada padanya. Dengan suara terisak-isak Nayla meminta agar kedua orang tua Chaca mengantarnya ke kuburan. “Tante, Nayla mau ke kuburannya Chaca”.

     Lumayan jauh dari rumah Chaca, kaki Nayla lemah, tapi dia berusaha mengikuti langkah kaki orang tuanya dan orang tua Chaca ke sebuah makan yang begitu tertata rapi, taburan bunga masih segar, tanah pekuburannya juga masih basah.
Sebuah Nisan yang begitu cantik dihadapan Nayla, membuatnya semakin terluka, jelas tersurat di batu nisan berwarna putih itu nama sahabat karibnya.

“Chaca Amrita Artawan”
Lahir 8 Januari 1995
Wafat 1 Januari 2011

     Berjongkok Nayla membelai nisan itu, gerimis turun membasahi nisan, semakin lama semakin deras, sederas air mata yang jatuh di pipi Nayla. “Happy birthday to you.. happy birthday to you.. happy birthday.. happy birthday.. happy birthday to you” Nay la bernyanyi di sela tangisnya.
“Chaca, terima kasih sayang, kau telah memberikan aku sepasang mata untuk melihat dunia ini, terima kasih karena telah mengajariku tentang ketulusan sebuah persahabatan, terima kasih atas senyum termanis yang pernah kau hadirkan di hidupku” ucap Nayla sambil terisak lirih di atas nisan. “Cha, aku Cuma bias ninggalin puisi ini buat kamu, walau aku tahu kamu tak akan pernah bisa membacanya, tapi itulah puisi terakhir yang khusus aku buat untuk kamu” kata Chaca sambil meletakkan selembar kertas yang berisi puisi tersebut.








Kenangan indah tentang kita akan selalu kuingat setiap detiknya
Jika ku tutup mataku, aku masih dapat melihatmu
Kau memperlihatkan senyum termanismu
Tapi itu hanya lamunan sesaatku
Kini kau telah jauh tinggalkanku
Aku belum sempat membahagiakanmu
Dan tak ingin kau pergi jauh
Tinggalkan kenangan kita bersama
Tapi takdir berkata lain
Terlalu cepat Tuhan memanggilmu
Hanya sebuah puisi ini aku persembahkan untukmu
Kepergianmu, meninggalkan kisah yang sangat pahit bagiku
Aku akan selalu mengenangmu, sahabat terbaikku
Semoga kau tenang disana
Suatu saat kita pasti akan bertemu kembali

     Tangis Nayla tak dapat terhenti, sudah 1 jam mereka disana. Tangan lembut ibu Rasti terulur ke arah putrinya,
“Bangun Nay, sudah, ikhlaskan saja Chaca, dia sudah tenang di sana, dia sudah berada di pangkuan Tuhan, yang harus kamu tahu, Chaca tak pernah ingin kamu cengeng, kamu harus tetap semangat menjalani hidup kamu,” bimbing ibu Rasti.
“Iya ma, terima kasih, aku hanya sedih saja, tapi aku janji gak akan cengeng lagi setelah hari ini”, kata Chaca. “Ya sudah kalau begitu kita pulang yah sayang” bujuk Ibu Rasti kepada putrinya. Nayla beranjak meninggalkan kuburan sambil berkata “Cha, aku pulang dulu yah aku janji aku akan sering mengunjungimu nanti, aku sayang kamu Cha.. Kiss and Big hug my lovely friend.. Mmmuacchh”











































                                                            ~The End~

“Tiada kasih yang lebih abadi daripada pemberian  
seorang sahabat  yang sempurna….
Tidak akan mati walau ia pergi untuk selamanya dalam hidup kita”














Tidak ada komentar:

Posting Komentar