Ketulusan Seorang Sahabat
|
|
“Nay, sini dech cepetan, aku ada sesuatu
buat kamu”, panggil Chaca suatu sore.
“Iya, sebentar, sabar dikit kenapa sich? kamu kan tau aku gak bisa melihat”,
jawab seorang gadis cantik dari balik pintu.
Nayla Wulandari, begitulah nama
gadis tadi, meskipun lahir dengan keterbatasan fisik, dia tidak pernah
mengeluh, semangatnya menjalani bahtera hidup tak pernah padam. Lahir dengan
kondisi buta, tidak membuatnya berkecil hati, secara fisik matanya tidak bisa
melihat warna-warni dunia, tapi mata hatinya bisa melihat jauh ke dalam
kehidupan seseorang. Mempunyai hoby melukis sejak kecil, dengan
keterbatasannya, Nay selalu mengasah bakatnya. Tak pernah sedikitpun dia
menyerah.
Duduk di bangku kelas 10 di sebuah
Sekolah Luar Biasa, Nayla tidak pernah absen meraih peringkat dikelas, bahkan
guru-gurunya termotivasi dengan sifat pantang menyerah Nay. Sejak baru berusia
3 tahun, Nayla sudah bersahabat dengan anak tetangganya yang bernama Chaca
Amrita. Chaca anak seorang direktur bank ternama. Chaca cantik, pintar dan
secara fisik Chaca kelihatan sempurna.
***
Seperti sore ini, Chaca sudah nangkring di
rumah Nay. Dia berbincang-bincang dengan Nay, sambil menemani sahabatnya itu
melukis. “Nay, lukisan kamu bagus
banget, nanti kamu ngadain pameran tunggal ya, biar semua orang tau bakat
kamu”, kata Chaca membuka pembicaraan.
“Huft”, Nay mendesah pelan lalu mulai bicara, “Seandainya aku bisa Cha,
pasti sudah aku lakukan, tapi apa daya, aku ini gak sempurna! seandainya aku
mendapat donor kornea, dan aku bisa melihat, mungkin aku bahagia dan akan
mengadakan pameran lukisan-lukisanku ini” ucap Nayla dengan kepedihan. “Suatu
hari nanti Tuhan akan memberikan anugrahnya kepadamu, Nay kamu percaya dech pasti akan ada yang mendonorkan korneanya untuk
seorang anak sebaik kamu,” timpal Chaca akhirnya.
Berbeda secara fisik, tidak pernah
menjadi halangan di dalam jalinan persahabatan antara Chaca dan Nayla, kemana
pun Chaca pergi, dia selalu mengajak Nay, kecuali sekolah tentunya, karena
sekolah mereka berdua berbeda.
Suatu hari sedang asik-asiknya dua
sahabat ini bersenda gurau, tiba-tiba saja Chaca mengeluh, “aduuh, kepala ku
sakit” “Kamu kenapa Cha, sakit”? tanya
Nayla. “Oh, ngga aku ngga apa-apa Nay, cuma sedikit pusing saja”, ucap Chaca sambil
tersenyum. “ Minum obat ya Cha, aku gak mau kamu kenapa-napa”, nada bicara Nay
terdengar begitu khawatir. “Iya kalau gitu aku pulang dulu yah Nay, mau minum
obat” ujar Chaca sambil berpamitan pulang.
Di kamarnya yang terkesan sangat
mewah, nuansa pink mendominasi di setiap sudut ruangan, Chaca terduduk lemas di
atas ranjangnya. “Ya Tuhan, berapa lama lagi usiaku di dunia ini?? Berapa lama
lagi malaikatmu akan menjemputku untuk menghadapmu”? erang hati Chaca.
Di vonis menderita leukimia sejak 7 bulan
lalu dan tidak akan berumur lama lagi sungguh menyakitkan bagi Chaca, usianya
yang baru 17 tahun, dengan segudang cita-cita yang dia inginkan, sudah pasti
tak satupun akan terwujud.
***
Pintu kamar Chaca tiba-tiba terbuka,
seorang wanita cantik paruh baya masuk lalu duduk disampingnya. “Gimana rasanya
sayang? Masih gak enak?? Kita ke dokter sekarang yuk” ujar wanita itu dengan
lembutnya. “Ngga usah Mah, aku sudah enakan kok, aku cuma mau beristirahat saja”,
jawab Chaca dengan sopan. “Ya sudah kalau begitu, Mama tinggal dulu ya,
istirahat ya, Nak”, ujar sang Mama sambil mencium kening putri semata
wayangnya. “Makasih Mah, aku selalu sayang Mama”, lirih Chaca berujar. Terus
terang Chaca sudah tidak kuat menahan rasa sakitnya, tapi dia berusaha
menyembunyikan itu dari orang tuanya.
Di ruang keluarga, Ibu Rita (Mamanya
Chaca), duduk sambil menemani sang suami sepulangnya dari kantor.”Mah, Chaca
kemana?? Kok Papa gak melihatnya dari tadi”? tanya sang suami. “Chaca lagi
istirahat Pa, dia pusing dan mengeluh sakit dari tadi”, jawab Rita. “Sakit apa
sebenarnya anak kita ma?? Kalau kita ajak ke dokter dia selalu menolak, Papa rasa
ada yang dia sembunyikan dari kita, aku takut penyakitnya parah”, dengan nada
khawatir pak Artawan bicara dengan istrinya. “Entahlah Pa, Mama juga bingung”
ujar istrinya lagi.
***
Ternyata sakit yang dirasakan Chaca sore
itu adalah pertanda dia akan segera di panggil menghadap Tuhan, saat minta ijin
untuk istirahat pada Mamanya, kesehatan Chaca benar-benar drop, dengan panik
kedua orang tua Chaca melarikan putrinya ke rumah sakit, setelah mendapat penanganan
oleh tim dokter, Chaca sedikit terlihat tenang, namun mukanya terlihat pucat,
sinar matanya terlihat begitu redup. “Pak Artawan, bisa kita bicara sebentar di
ruangan saya”, kata dokter Gunawan, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga
Artawan. “Baiklah dok”, sambut pa Artawan.
Setelah pak Artawan dan ibu Rita
duduk di ruangan dokter Gunawan, mereka akhirnya mulai bicara. “Maafkan saya
sebelumnya pak, sebenarnya saya sudah tau penyakit yang diderita putri bapak
sejak 7 bulan lalu, tapi karena putri bapak menyuruh saya merahasiakan
penyakitnya kepada bapak dan ibu, saya gak bisa berbuat apa-apa. Putri bapak
terkena leukimia,” ujar dokter Gunawan lirih.
Cukup lirih memang kata-kata dokter
Gunawan, tapi mampu membuat jantung pak Artawan dan istrinya berdetak lebih
cepat dari biasanya. “Apa?? Leukemia? Separah apa dok”?? keras nada suara pak
Artawan. “Sudah parah pak, umur Chaca mungkin tidak lama lagi” sambung dokter
kembali. Setelah berbicara lama dengan dokter, air mata tak pernah berhenti
mengalir di pipi Rita. Dia begitu terpukul mendengar putrinya menderita
penyakit itu.
“Udah Mah, jangan
nangis terus. Pengobatan Chaca akan
diusahakan, kita akan mengusahakan kesembuhannya, lebih baik kita berdoa,
semoga Tuhan memberikan jalan terbaik buat keluarga kita”, hibur pak Artawan. “Mari
kita tengok Chaca” ajaknya lagi.
Memasuki ruangan perawatan, ibu Rita
berusaha menyembunyikan air matanya, dia tersenyum penuh kepedihan di samping
ranjang putrinya. “Mama, kenapa? Kok sedih begitu”? ujar Chaca lirih. “Gak
apa-apa sayang", berbisik ibu Rita tak kuasa menahan air matanya. “Maafkan
Chaca Mah, Pa, Chaca tak bermaksud membuat Mama dan Papa terluka seperti ini,
Chaca hanya tak ingin menyusahkan kalian”, Chaca berkata dengan terbata-bata.
Belum ada beberapa
menit pak Artawan dan ibu Rita di kamar putrinya, tiba-tiba Chaca
kejang-kejang. Dengan panik pak Artawan memanggil dokter Gunawan. Dokter
Gunawan menangani Chaca lumayan lama, hingga akhirnya dokter Gunawan keluar,
muka beliau kelihatan sangat sedih. “Bagaimana anak saya, dok”? tanya pak
Artawan. “Maaf pak, kami disini sudah berusaha yang terbaik, tapi Tuhan berkehendak
lain, Chaca sudah dipanggil menghadap-Nya” ucap dokter.
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaakkk”, teriak ibu
Rita histeris,“ Chaca tidak mungkin meninggal, Chaca masih hidup”!!! Seluruh pengunjung
rumah sakit menoleh ke arah mereka.“Pak, sebelum meninggal, Chaca menitipkan
ini ke saya, ini buat bapak dan ibu” imbuh dokter Gunawan sebelum mohon diri.
Sepeninggal Dokter Gunawan, pak
Artawan dan istrinya membuka amplop kecil dari Chaca, isinya ternyata surat.
Selain sepucuk surat itu, ada lagi sebuah
surat pernyataan pendonoran kornea mata yang telah lengkap dengan tanda tangan
Chaca. Hati orang tua Chaca tersayat, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan
selain memenuhi permintaan terakhir sang anak.
***
Sementara itu, di rumah Nayla, tampak
gadis cantik itu tengah duduk seorang diri di teras rumahnya. Wajahnya tampak
sedikit murung, “kemana si Chaca, sudah lebih dari 5 hari dia gak main ke sini,
apa dia baik-baik saja”? gumamnya. “Mah, Chaca pernah kesini gak dalam beberapa
hari ini”? tanya Nayla ke pada mamanya. “Gak ada, Nay, memang kenapa”? tanya
sang Mama. “Gak apa-apa Mah, aku ke rumah Chaca sebentar ya”! Nay meminta ijin
ke mamanya.
Tapi diluar dugaan, Mama melarangnya
pergi. “Jangan Nay, kita harus ke rumah sakit sekarang juga, tadi Mama ditelepon
sama pihak rumah sakit, katanya ada yang menyumbangkan korneanya khusus untuk
kamu”, dengan tutur kata yang lembut mamanya menjelaskan. “Yang bener, Ma? Nay
sudah dapat donor kornea?? Asik-asik, Nay akan segera bisa melihat wajah Chaca,
Nay bisa segera menggelar pameran lukisan,” ucap Nay berapi-api.“Iya nak” jawab
mamanya penuh kepedihan. “Seandainya kamu tahu sayang, Chaca tak mungkin ada
disamping kamu lagi, Chaca sudah tenang dialam sana, dan seandainya kamu tahu
siapa orang yang mendonorkan korneanya untuk kamu” kata sang Mama dalam hati.
Waktu berjalan begitu cepat, operasi
cangkok kornea sudah dilaksanakan dan sekarang adalah hari yang paling
ditunggu-tunggu Nayla, perban di matanya akan di buka, tim dokter beserta kedua
orang tua Nayla sudah ada di ruangan. Sebelum perbannya di buka, Nayla berujar,
“Ma, Pa, Chaca sudah datang?? Ku ingin sekali ada Chaca di sini pas aku bisa
melihat”
“belum sayang, Chaca masih diluar kota” pedih rasanya hati sang Mama karena
harus berbohong.
Perban akhirnya di buka, samar-samar
penglihatan Nayla mulai melihat warna, melihat sosok kedua orang tuanya, dia
tersenyum, semakin lama semakin jelas,
“Mama, papa aku bisa melihat kalian,” gembira sekali suara Nayla.
***
Sudah 1 minggu semenjak Nayla bisa
melihat, tapi Chaca tak kunjung datang menemuinya. “Ma, Chaca kok ngga pernah
ke sini padahal Mama bilang kemarin dia sudah pulang dari luar kota. Mah Nay
mau ke rumah Chaca yah, hari ini kan Chaca ulang tahun. Nay pingin ngajak Chaca
jalan-jalan buat merayakan kesembuhan Nay dan ulang tahunnya Chaca”. “Ya sudah
mama sama papa temenin kamu ya!!”
Berbeda beberapa rumah antara Chaca
dan Nayla merupakan hal yang membahagiakan, tidak perlu capek-capek bermacet-macet
ria di jalanan untuk mengunjunginya. Sesampai di rumah Chaca mereka disambut
ramah oleh keluarga Chaca yang kebetulan lagi ada di rumah.
“Selamat sore tante Rita’” sapa Nayla
dengan senyum sumringah.
Setelah di persilahkan duduk dan menikmati hidangan ala kadarnya, Nayla
menanyakan keberadaan sahabat karibnya,
“Mana Chaca tante?? Kok gak kelihatan ada di rumah”?
“Cha…cca…” dengan terbata-bata ibu Rita menjawab.
“Iya Chaca kenapa tante, kemana?? Chaca tidak apa-apa kan”? bertubi-tubi Nayla
bertanya.
Ibu Rita tak kuasa menjawab, beliau
meninggalkan tamunya di ruang tamu dan berlari naik ke kamar Chaca, mengambil
sepucuk surat yang dititipkan Chaca untuk Nayla. Ibu Rita kembali ke ruang tamu
dengan sepucuk surat di tangan,
“Ini dari Chaca untuk kamu” ujarnya berlinang air mata kepada Nayla.
Dengan tangan gemetar Nayla membuka
amplop berwarna kuning yang cantik itu, ada pita pink juga di sudut amplonya.
Air mata mengalir deras di
pipi Nayla.
“Ini tidak mungkiiiiiin…. kamu memang janji akan mendapatkan donor kornea
untukku Cha, tapi aku nggak mau kalau itu kamu… kamu bilang saat kamu ulang
tahun kita akan merayakannya bersama-sama, tapi mana janji kamu Cha..???”
Sekarang hari ulang tahun kamu,
harusnya kita sudah bersenang-senang” teriak Nayla tak percaya. Dia menangis
sejadi-jadinya. Dia benar-benar tak percaya, sahabatnya sudah kembali ke
pangkuan Tuhan, Nayla menatap selembar foto yang juga ada di dalam amplop surat
tadi, foto Chaca tersenyum manis ke arahnya, mata Chaca yang teduh, sekarang
ada padanya. Dengan suara terisak-isak Nayla meminta agar kedua orang tua Chaca
mengantarnya ke kuburan. “Tante, Nayla mau ke kuburannya Chaca”.
Lumayan jauh dari rumah Chaca, kaki
Nayla lemah, tapi dia berusaha mengikuti langkah kaki orang tuanya dan orang
tua Chaca ke sebuah makan yang begitu tertata rapi, taburan bunga masih segar,
tanah pekuburannya juga masih basah.
Sebuah Nisan yang begitu cantik dihadapan Nayla, membuatnya semakin terluka,
jelas tersurat di batu nisan berwarna putih itu nama sahabat karibnya.
“Chaca Amrita Artawan”
Lahir 8 Januari 1995
Wafat 1 Januari 2011
Berjongkok Nayla membelai nisan itu,
gerimis turun membasahi nisan, semakin lama semakin deras, sederas air mata
yang jatuh di pipi Nayla. “Happy birthday to you.. happy birthday to you..
happy birthday.. happy birthday.. happy birthday to you” Nay la bernyanyi di
sela tangisnya.
“Chaca, terima kasih sayang, kau telah memberikan aku sepasang mata untuk
melihat dunia ini, terima kasih karena telah mengajariku tentang ketulusan
sebuah persahabatan, terima kasih atas senyum termanis yang pernah kau hadirkan
di hidupku” ucap Nayla sambil terisak lirih di atas nisan. “Cha, aku Cuma bias
ninggalin puisi ini buat kamu, walau aku tahu kamu tak akan pernah bisa
membacanya, tapi itulah puisi terakhir yang khusus aku buat untuk kamu” kata
Chaca sambil meletakkan selembar kertas yang berisi puisi tersebut.

Kenangan indah tentang kita akan selalu
kuingat setiap detiknya
Jika ku tutup mataku, aku masih dapat melihatmu
Kau memperlihatkan senyum termanismu
Tapi itu hanya lamunan sesaatku
Kini kau telah jauh tinggalkanku
Aku belum sempat membahagiakanmu
Dan tak ingin kau pergi jauh
Tinggalkan kenangan kita bersama
Tapi takdir berkata lain
Terlalu cepat Tuhan memanggilmu
Hanya sebuah puisi ini aku persembahkan untukmu
Kepergianmu, meninggalkan kisah yang sangat pahit bagiku
Aku akan selalu mengenangmu, sahabat terbaikku
Semoga kau tenang disana
Suatu saat kita pasti akan bertemu kembali
Tangis Nayla tak dapat terhenti, sudah 1
jam mereka disana. Tangan lembut ibu Rasti terulur ke arah putrinya,
“Bangun Nay, sudah, ikhlaskan saja Chaca, dia sudah tenang di sana, dia sudah
berada di pangkuan Tuhan, yang harus kamu tahu, Chaca tak pernah ingin kamu cengeng,
kamu harus tetap semangat menjalani hidup kamu,” bimbing ibu Rasti.
“Iya ma, terima kasih, aku hanya sedih saja, tapi aku janji gak akan cengeng
lagi setelah hari ini”, kata Chaca. “Ya sudah kalau begitu kita pulang yah
sayang” bujuk Ibu Rasti kepada putrinya. Nayla beranjak meninggalkan kuburan
sambil berkata “Cha, aku pulang dulu yah aku janji aku akan sering
mengunjungimu nanti, aku sayang kamu Cha.. Kiss and Big hug my lovely friend..
Mmmuacchh”
~The End~
“Tiada kasih yang lebih abadi daripada pemberian
seorang
sahabat yang sempurna….
Tidak
akan mati walau ia pergi untuk selamanya dalam hidup kita”